Kisruh Atlas beach Club, DPRD Bali Inisiasi Pembentukan Perda Penggunaan Simbol Agama
DPRD Bali

DENPASAR – VISIBALI.COM. DPRD Bali berencana mengkaji pembentukan Peraturan Daerah (Perda) guna mengatur penggunaan simbol agama secara lebih ketat. Langkah ini diambil setelah aksi damai yang digelar Yayasan Kesatria Keris Bali di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Jumat (7/2/2025), sebagai bentuk protes atas penggunaan latar belakang bergambar Dewa Siwa dalam pertunjukan musik DJ di Atlas Beach Club.
Dewa Siwa dalam ajaran Hindu merupakan sosok suci yang tidak semestinya digunakan sembarangan dalam dunia hiburan malam. Menanggapi hal ini, perwakilan DPRD Bali, di antaranya Wakil Ketua DPRD Bali I Wayan Disel Astawa, Wakil Ketua III DPRD Bali I Komang Nova Sewi Putra, serta Ketua Komisi I Nyoman Budi Utama, menerima perwakilan yayasan dan mendengarkan tuntutan mereka.
Ketua Umum Yayasan Kesatria Keris Bali, Ketut Putra Ismaya Jaya, mengajukan tujuh tuntutan kepada DPRD Bali. Salah satu poin utama adalah penutupan sementara Atlas Beach Club sebagai sanksi atas insiden tersebut. Selain itu, yayasan menuntut permintaan maaf resmi dari pihak klub serta proses hukum bagi mereka yang bertanggung jawab.
Jero Bima, sapaan akrab Ketut Putra Ismaya Jaya, menegaskan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, yayasan akan mengerahkan massa dalam jumlah lebih besar untuk melakukan aksi lanjutan. Menurutnya, regulasi terkait penggunaan simbol agama harus diperkuat agar kasus serupa tidak terulang.
“Kami meminta DPRD Bali untuk menutup sementara tempat tersebut, agar ada evaluasi dan langkah tegas terhadap kejadian ini. Kami tidak hanya menuntut permintaan maaf, tetapi juga tindakan nyata agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kedepannya,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan tersebut, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, I Made Supartha, menyatakan dukungannya terhadap upaya perlindungan simbol agama. Ia menegaskan Fraksi PDIP siap berjuang bersama masyarakat Bali dan setuju terhadap penutupan klub malam tersebut guna memberikan efek jera.
Namun, Supartha juga menyadari dampak ekonomi dari keputusan tersebut, terutama bagi para pekerja. Ia menyebut bahwa sanksi tetap perlu diterapkan sebagai bentuk penegakan hukum terhadap penistaan simbol agama.
Sementara itu, Wakil Ketua III DPRD Bali, I Komang Nova Sewi Putra, menyarankan agar kasus ini dibawa ke Polda Bali jika terdapat unsur pelanggaran hukum. Ia menambahkan bahwa DPRD Bali akan mendorong pembentukan Perda terkait agar ada dasar hukum yang lebih kuat dalam menangani kasus serupa di masa depan.
Wakil Ketua I DPRD Bali, I Wayan Disel Astawa, menegaskan perlunya regulasi yang lebih ketat. Saat ini, Bali hanya memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 25 Tahun 2020, yang mengatur pelanggaran simbol agama dengan sanksi denda dan upacara pembersihan Guru Piduka. Namun, ia menilai regulasi ini belum cukup mengikat, mengingat kasus serupa masih terjadi.
Disel Astawa menyoroti beberapa insiden sebelumnya, termasuk di Finns Beach Club, serta kebijakan pemaksaan umat non-Hindu untuk menghentikan aktivitas saat Nyepi. Menurutnya, Perda akan memberikan dasar hukum yang lebih tegas, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha bagi pelanggar.
Ketua Fraksi Golkar DPRD Bali, Agung Bagus Tri Candra Arka, mengimbau agar permasalahan ini disikapi secara adil. Dari hasil pertemuan antara pihak Atlas Beach Club dan DPD RI pada 5 Februari 2025, ia menyebut bahwa insiden tersebut terjadi karena kelalaian teknis, bukan kesengajaan. Oleh karena itu, keputusan untuk menutup klub malam harus dikaji lebih mendalam agar tidak merugikan banyak pihak.
“Saya sudah rapat DPR RI, kalau dari Pergub kan sudah ada kalau sebatas kesalahan kan ada peringatan, ini kesalahan tidak disengaja kok. Saya memperjuangkan masyarakat saya dan kabupaten Badung, kita butuh investor, tapi jangan kita ditindas oleh investor,” sambungnya.
Ia juga menyoroti bahwa 85 persen pekerja di Atlas Beach Club merupakan masyarakat Bali yang menggantungkan hidupnya pada industri pariwisata. Selain itu, Atlas Beach Club disebut membayar pajak hingga Rp2 miliar per bulan, yang berkontribusi pada pendapatan daerah.
DPRD Bali berkomitmen untuk memanggil pihak Atlas Beach Club dan Finns Beach Club guna meminta klarifikasi lebih lanjut. Pembahasan mengenai Perda akan segera dilakukan demi mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
“Kasus ini menjadi pembelajaran agar ke depan regulasi lebih diperketat. Klub malam dan tempat hiburan lainnya harus berhati-hati dalam penggunaan simbol agama,” tandas salah satu tokoh Puri Kerobokan, Kuta Utara, Badung.
Usai aksi damai, perwakilan DPRD Bali langsung melakukan inspeksi ke Atlas Beach Club guna melakukan koordinasi terkait tuntutan yang diajukan masyarakat.