
BADUNG – VISIBALI.COM. Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali (FPDPB) menggelar diskusi publik bertajuk “Permasalahan Transportasi Pariwisata Sebagai Sektor Penting Dalam Pariwisata Bali” pada Rabu (21/5). Diskusi ini menyuarakan keresahan ribuan driver wisata terhadap regulasi transportasi yang dinilai belum berpihak dan sudah ketinggalan zaman.
Koordinator FPDPB, Made Dharma Yasa alias Dek Rock Kembar, menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar ajang keluh kesah, tapi bagian dari perjuangan konkret menyuarakan hak para pelaku transportasi wisata lokal.
“Kami membawa enam tuntutan yang sebelumnya sudah kami serahkan ke DPRD Bali dan masuk dalam pembahasan revisi Perda. Intinya, kami ingin regulasi yang adil dan berpihak kepada pelaku lokal,” ujarnya di depan peserta diskusi.
Sedangkan Enam Tuntutan Supir Wisata Bali yang disuarakan meliputi:
1. Penetapan kuota kendaraan harus ada batasan jumlah kendaraan pariwisata berdasarkan kebutuhan ril, bukan dikuasai pasar bebas yang memicu kemacetan dan persaingan tidak sehat.
2. Penataan vendor transportasi yang mana banyak vendor “nakal” dan makelar digital yang tak punya basis jelas di Bali namun menguasai pasar. FPDPB mendesak pembentukan mekanisme seleksi vendor yang transparan dan adil.
3. Standarisasi tarif wisata, dimana Permenhub No. 4 Tahun 2017 soal tarif Rp3.500–Rp6.000 dianggap sudah usang dan tak relevan. FPDPB menuntut penyesuaian tarif dengan realitas operasional saat ini.
4. Plat bali wajib untuk kendaraan perasional di Bali, penggunaan kendaraan dengan plat luar daerah dinilai mengganggu iklim usaha lokal.
5. Domisili dan registrasi aplikasi transportasi harus lokal, banyak aplikasi transportasi yang meregistrasi armada dari luar Bali. Ini melemahkan pengawasan dan menggerus potensi ekonomi lokal.
6. Sertifikasi dan Standar Kompetensi Driver Wisata, FPDPB ingin ada standarisasi bagi driver wisata agar pariwisata Bali tetap berkelas dan berdaya saing secara profesional.
“Kalau operasi di Bali, ya harus KTP dan plat Bali,” tegas Made.
Dalam diskusi tersebut, hadir juga Prof. Dr. Dasi Astawa, yang melontarkan kritik tajam terhadap lemahnya implementasi regulasi. Ia melontarkan kritik keras dari lantaran regulasi banyak, tapi macet tetap mengular.
“Aturan kita banyak, tapi pelanggaran makin bebas karena penegakan hukum longgar. Masalah macet bukan hanya karena banyak kendaraan, tapi karena hukum tak ditegakkan secara konsisten,” tandasnya.
Ia menyebut kemacetan di Bali terjadi karena pembiaran dari parkir liar, tidak adanya tempat parkir usaha, hingga pembangunan infrastruktur yang tidak terukur.
“Singapura saja yang luasnya seperdelapan Bali bisa tertib, kenapa kita tidak bisa?” tantangnya.
Prof Dasi juga mengingatkan FPDPB agar tidak hanya menuntut, tetapi juga memastikan anggotanya memiliki izin resmi.
“Kalau kalian masih freelance tanpa izin, ya mohon maaf, kalian akan dianggap angin lalu oleh pemerintah. Harus legal, harus punya dasar hukum agar didengar,” katanya blak-blakan.
FPDPB yang menaungi seratusan paguyuban dengan ribuan anggota ini menegaskan bahwa mereka adalah bagian penting dari wajah pariwisata Bali.
Mereka menyayangkan jika peran vital mereka tergantikan oleh sistem aplikasi yang hanya mengejar keuntungan, tanpa memperhatikan kualitas layanan dan keberlanjutan pariwisata Bali.
“Kalau regulasi terus menguntungkan korporasi digital, maka ke depan, sektor transportasi dan pariwisata lokal akan jadi korban. Jangan sampai Bali hanya jadi pasar tanpa kontrol,” tutup Made Dharma Yasa.(red)