Seniman Cilik Badung Tampil Apik di PKB 2025, Lepaskan Burung hingga Main Dolanan
Pemkab Badung

DENPASAR – VISIBALI.COM. Malam di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, terasa berbeda dari biasanya. Tak hanya dipenuhi irama gamelan yang rancak, tetapi juga oleh tawa dan sorak penonton yang tergugah oleh keluguan anak-anak yang tengah menari, menabuh, dan bermain di atas panggung.
Mereka adalah anak-anak dari Sanggar Seni Sudha Wirad, Banjar Pipitan, Desa Canggu, Kabupaten Badung, seniman-seniman cilik yang membawa napas segar dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 tahun 2025.
Namun, penampilan mereka bukan sekadar pertunjukan seni biasa. Di balik gamelan dan gerak tari, ada pesan besar yang dibisikkan dengan halus tentang keberanian menjaga tradisi, kebijaksanaan menyikapi modernisasi, dan harapan untuk sebuah masa depan yang tidak tercerabut dari akar budaya.
Malam itu dibuka dengan kejutan kecil, 50 ekor burung perkutut dilepaskan ke langit malam Denpasar. Diiringi alunan gamelan dan atraksi ringan para penabuh, burung-burung itu terbang bebas, seolah menjadi simbol pesan harmoni antara manusia dan alam.
“Ini bukan sekadar atraksi,” ujar I Putu Wahyudi Cahaya Putra, Sekretaris Sanggar, dengan mata berbinar seusai pementasan. “Kami ingin anak-anak juga belajar bahwa seni tidak lepas dari kehidupan, dari alam, dari kesadaran untuk menjaga keseimbangan,”
Sajian pertama bertajuk “Tala Bhanga”, sebuah tabuh kreasi karya I Nyoman Wiradarma Yoga yang mengangkat filosofi ketidakteraturan sebagai bentuk harmoni baru. Tabuh ini tak menyuguhkan irama yang rapi dan tenang, tapi justru ‘ritme pecah’ simbol bahwa kehidupan tak selalu tertib, tapi tetap bisa indah jika dimaknai dengan jujur.
Anak-anak memainkan alat musik tradisional Bali dengan penuh semangat. Jari-jari mungil mereka lincah menabuh, seolah mengajak penonton merasakan betapa indahnya perbedaan, betapa pentingnya keberagaman.
Pertunjukan dilanjutkan dengan Tari Tedung Sari, tari yang lahir dari inspirasi payung upacara Bali (tedung) sebagai simbol perlindungan dan kesakralan. Anak-anak menari anggun di bawah tedung warna-warni, seakan ingin memayungi budaya agar tetap lestari meski diterpa zaman.
Namun bagian paling membekas malam itu datang dari penutup dolanan “Kidal Kidul”. Sebuah garapan yang memadukan permainan tradisional dan modern di atas panggung, dengan gaya teatrikal khas anak-anak. Mereka bermain layangan, jualan di pasar-pasaran, lalu berubah memainkan vlog, main game, bahkan menirukan anak zaman sekarang yang lengket dengan gadget.
Lugu. Lucu. Jujur. Penonton tertawa lepas bukan karena dagelan semata, tapi karena melihat potret anak-anak masa kini yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
“Dolanan ini kami ciptakan berdasarkan fenomena yang kami lihat langsung di lapangan, khususnya di Canggu,” kata Wahyudi. “Di tengah pesatnya pariwisata dan digitalisasi, kami ingin anak-anak tetap punya ruang untuk mengenal budaya mereka, tanpa alergi terhadap teknologi.”
Sosok kura-kura kecil bernama “Boko-Boko” menjadi ikon dolanan. Makhluk mungil ini hidup di dua alam, darat dan air, sebagaimana anak-anak kini harus bisa hidup di dua dunia masa lalu dan masa kini.
Tak ada yang instan. Proses menuju panggung besar ini dimulai sejak Februari 2025, dengan latihan tiga kali seminggu. Memasuki bulan Juni, intensitas meningkat menjadi setiap hari. Seleksi pun ketat dari puluhan pendaftar, hanya dipilih 38 penabuh, 9 penari, dan 28 pemain dolanan.
Tantangan utama justru datang bukan dari teknis, melainkan dari gadget. “Kami sampai harus menyita HP anak-anak sebelum latihan dimulai,” ujar Wahyudi sambil tertawa. “Tapi dari situ kami latih mereka untuk fokus, disiplin, dan hadir sepenuhnya.”
Yang dilakukan oleh Sanggar Sudha Wirad malam itu bukan hanya tampil di panggung, tapi menanamkan akar budaya pada jiwa generasi muda. Mereka tidak sedang melestarikan budaya dalam pengertian ‘menjaga yang lama’, tetapi menghidupkannya kembali dengan cara yang relevan, segar, dan menyenangkan.
Di tengah sorotan lampu, di antara denting gamelan dan gelak tawa penonton, anak-anak Canggu memberi kita harapan: bahwa Bali dengan seluruh warisan budayanya masih akan tetap hidup, menari, dan berkembang di tangan mereka. (kominfo/red)